Monday, July 27, 2015

Dunia Yang Kita Wariskan

Source. www.staralliancelimousines.com
Semua bilang, didik anak laki-lakimu, supaya besar nanti dia jadi pelindung, bukan bajingan. Jangan sampai dia dewasa dan menjadi pemikul arang pencoret muka keluarga.

Ada juga yang mengingatkan didik anak perempuanmu, supaya menjadi muslimah shalihah. Jangan jadi muslimah yang lemah dan mudah tergoda bujukan manis, lalu menderita.

Dan aku memikirkan, setelah semua pendidikan itu apakah cukup? begitu saja, lalu kita biarkan mereka seperti panah yang melesat dari busurnya? Terbang jauh entah kemana.

Aku teringat, entah dimana membaca ungkapan ini. Tak perduli sejauh apapun kita pergi, semegah apapun dunia di luar sana, dan tak peduli sesederhana apapun rumah kita, tak ada tempat pulang seindah rumah kita. 
Tergelak sendiri membaca koment yang mencaci maki di postingan ku sebelumnya, mereka marah entah untuk apa, padahal tulisan itu adalah realita yang terjadi di tanoh Aceh tercinta. Aku paham, bahasaku bukan bahasa bermanis-manis yang disukai oleh sebagian orang. Sebagai seorang ibu, aku tahu, sangat tahu. Dalam mendidik, kadang bahasa halus tak mempan. Tapi terserah mereka, mau tulis apa juga silahkan.

Yang mau baca tulisan itu, di sini.

Aku sekarang sedang berpikir. Tentang dunia seperti apa yang akan kita wariskan untuk anak-anak kita nanti. Apakah cukup hanya dengan kita membekal mereka dengan ilmu, apakah cukup hanya sebatas mengingatkan berkali-kali.

Teringat pernah membaca disebuah buku. Tentang seorang pengusaha sukses yang pulang ke kampung halamannya. Dan menemukan kampungnya sudah menjadi daerah miskin terbelakang. Sebenar dengan seluruh kekayaannya, dia bisa membangun berbagai fasilitas atau usaha, tapi cara berpikir seorang pemimpin memang berbeda.

Dia mulai dengan membangun sekolah. Pendidikan. Lalu mulai secara perlahan memperbaiki pola pikir masyarakat. Perjalanannya panjang. Sehingga ketika bertahun kemudian kampung itu berkembang menjadi wilayah bisnis yang hebat, seorang penulis menjumpainya dan terungkap satu hal yang sederhana.

" Memberikan pancing sama jeleknya dengan menyediakan ikan. Mengajari orang cara membuat pancing, cara memancing, dan cara menjaga agar ikannya tetap ada, serta merawat tempat memancingnya adalah cara yang seharusnya."

Dan aku melihat, bahwa untuk membangun masa depan anak-anakku, adalah kerja besar para ibu yang juga sedang berjuang membangun masa depan anak-anaknya.

Seperti aku meradang melihat cukup banyak perempuan Aceh yang mulai begitu mudah menjatuhkan harga dirinya pada pacar dengan janji manis. Seperti itu juga aku sadar bahwa sebagian perempuan Aceh lainnya yang tegas menjaga marwahnya adalah bukti pendidikan di rumah dan rumah-rumah disekitarnya.

Tak bisa. Tak cukup hanya satu orang ibu yang berusaha menentang dunia, tapi butuh banyak tangan ibu-ibu yang berdiri satu suara. Menjaga keluarganya, menjaga putra putrinya. 

Ku pikir saatnya ambil sapu, bersihkan halaman rumah. Ajak ibu-ibu lain sapu halam rumah mereka, sapu rumah-rumah kami. Dari hal merusak. Seperti media yang mengajarakan ajaran sesat bahwa cinta itu identik dengan peluk sana sini, belai sana sini, tak penting soal ikatan agama dan pernikahan secara hukum sah. Padahal itu ajaran untuk membuat putra putri kami terbawa nafsu lalu hancur sekolahnya, hancur pendidikannya, hancur logikanya.

Aku teringat tentang seorang gadis anak ibu teman pengajianku. Yang sekarang mengurung diri menyembunyikan perutnya, sedangkan kekasihnya kabur pulang kampung setelah wisuda. Teringat ayah dan abang si gadis yang memburu laki-laki janji manis itu ke kampung. Aku berdoa tak ada pertumpahan darah, karena soal marwah itu bisa maut urusannya.

Dunia yang tidak akan membiarkan anak-anakku berjuang seorang diri, dunia dimana akan selalu ada orang-orang yang saling menjaga. Dengan agama yang baik. Dengan moral yang baik. Dunia begitu yang ingin kuwariskan.

Kutuliskan pesan ini kepada dunia, sebagai jejakku. Agar kelak putraku bisa membacanya dan dia tahu ibunya menginginkan dunia seperti apa untuknya.

Aku tak perduli caci maki orang yang menganggapku hina, atau nista. Karena yang sedang keperjuangkan adalah tanah kelahiranku, yang semestinya nanti akan menjadi rumah untuk pulang anak-menantu-cucuku.

Menyingsingkan lengan baju. Lakukan saja apa yang kubisa. Sebaris tulisan. Sekian menit percakapan saat arisan, sekian pembahasan saat ikut pengajian di bale. Acehku masih berdiri tangguh, tapi karat busuk mulai menggerogotinya. Tak akan kudiamkan. Aku ingin mewariskan Aceh yang layak menyandang gelar serambi mekkah.

Walaupun hanya satu kata, aku berdoa, Yaa Allah, ajak ibu-ibu lainnya. Tulikan telinga kami dari caci maki tak berguna. Mungkin sekarang waktunya kami tulang rusuk ini menjadi tulang punggung. Kuatkan kami. | I.K

7 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...