Source. |
Kemarin aku dipanggil kepala sekolah dan wali kelas Khalid. Sebabnya karena Khalid menjawab saat ditanya guru, kenapa dia tidak mengumpulkan tugas puisi 'Ayahku'.
"Aku tidak perlu ayah, sudah ada ummi, dan itu cukup." Begitu jawabnya, dan guru pun melapor, mencurigainya sebagai anak bermasalah mungkin.
Bukan hanya itu, razia mendadak menemukan buku tugasnya, dan ada selembar puisi yang dibuatnya untuk ayah.
Ayah Ibuku sudah meninggal.
Aku dibesarkan ummi.
Aku disusui ummi.
Seperti nabi kita dan ibu susunya.
Aku lahir dari bunda, dan aku anak ummi
Ummi dulu punya suami
Kata ibu guru itu ayahku.
Aku tak mau itu ayahku.
Laki-laki itu menjaga wanita.
Bukan menyakiti wanita.
Itu kata Ummi.
Itu kata Kak Ima
Itu kata Ustad
Aku tidak butuh ayah
Cukup Ummi saja.
Aku membaca tulisan Khalid dan tak bisa tidak aku menangis. Ada haru ketika anakmu begitu mencintai dirimu. Dan dimataku, Khalidku adalah laki-laki hebat. Ia tidak membenci ayahnya, aku tahu itu. Ada malam-malam ketika aku menceritakan ayah bundanya. Ia mengenal mereka meskipun tak pernah berjumpa sejak bayi.
Tapi hatiku perih ketika mendengar ceramah Pak Kepala Sekolah, mengenai mendidik anak. Mengenai salahku karena mengajarkan kebencian kepada 'ayahnya'. Dan kepala sekolah seolah tuli ketika kujelaskan sebab aku bercerai dengan suamiku.
Ceramah munafik bagiku. Soal perempuan semestinya patuh pada suami, soal perempuan semestinya tak boleh terbawa emosi, soal betapa sulitnya beban menjadi laki-laki, soal laki-laki itu terkadang khilaf, dan perempuan yang berhati lembut semestinya memaafkan.
Di mata kepala sekolah perceraian adalah dosa besar, sehingga ketika kukatakan aku menggugat cerai suamiku, seketika aku adalah Yang Bersalah. Telinganya seperti tuli saat kukisahkan sekilas, tentang laki-laki yang saat tsunami menerjang baru saja dinyatakan sah sebagai suamiku. Laki-laki yang terpisah dan kutemukan beberapa bulan kemudian sedang berpelukan dengan pacarnya, perempuan yang dikenalnya di barak pengungsi. Laki-laki yang dengan ringan berkata "Ku pikir kamu sudah mati, Na."
Aku akhirnya memilih diam. Biarlah laki-laki itu berceramah segala macam. Harga dirinya mungkin yang membuat dia membela kaumnya. Tapi aku juga tahu bahwa selang seminggu, masalah ini sudah terlupakan.
Aku diam, tidak mengangguk tidak menggeleng. Lalu akhirnya meminta izin pulang. Khalid ku bawa serta.
Dan pagi ini aku mengantarnya kesekolah. Tersenyum melihatnya membaur dengan teman-temannya. Juga tersenyum pada guru wali kelas yang menyapaku ramah. Masalah kemarin sepertinya sudah terlupakan.
Tapi tidak bagiku. Aku akan selalu mengingat hari kemarin, hari ketika anakku mengatakan aku tidak butuh ayah cukup ummi saja. | I.K
Semangat Isna...
ReplyDeleteTidak ada yang benar2 mengerti diri kita selain kita sendiri...
Be a super Ummi 4 khalid :)
"Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya. " -Harper Lee
ReplyDelete