Sakit rasanya, dek. Hampir setiap hari selalu aja ada ditanyakan. Mengapa sekarang berantakan begitu. Dulu rasanya gak begini ketika kita baru menikah. Suami senang waktu pulang lihat istrinya cantik. Ini, dandan hanya kalau ada arisan saja.
Begitu dan begitu lagi curhat yang ku dengar saat arisan, atau ketika pengajian. Tidak jauh-jauh dari protes suami, keluhan suami, sekali dua ada sedikit kabar gembira. Tapi seringnya adalah kesedihan, dan rasa takut kehilangan.
Bagaimana kalau dia menikah lagi?
Sebagai seorang single mother, pekerjaan rumahan yang harus ku kerjakan tidak sebanyak yang lain. Tapi itu saja rasanya 24 jam tidak cukup waktu. Bayangkan lagi teman-teman lain. Yang harus memasak, mencuci, menggosok pakaian, memandikan anak, mengurusi anak kesekolah, belanja ke pasar.
Jam kerja dimulai dari sebelum subuh, baru berakhir tengah malam. Beruntunglah kalau punya uang lebih, bisa menggaji pembantu. Tapi kalau tidak, jabatan istri berarti tukang cuci, tukang gosok baju, koki, supir antar jemput, dan banyak gelar lain.
Itu belum termasuk kalau ternyata juga bekerja sebagai pegawai. Segala urusan rumahan ini di tambah lagi dengan urusan kantor, yang kalau seperti rata-rata tetanggaku, masih berposisi sebagai staff. Yang kalau sewaktu-waktu ditelpon atasan sulit untuk menolak. Padahal kadang-kadang tidak ada urusan dengan pekerjaan kantor, bisa jadi diminta bantu-bantu di rumah kepala bagian.
Dan masih tega, seorang suami, mengeluhkan istrinya yang tidak seindah ketika baru menikah dulu.
"Kakak. dek kan. Sering dibelikan baju sama abang. Tapi banyak baju itu sampai sekarang masih ada merknya, masih dalam plastiknya, nggak ada waktu untuk dipakai. Jangankan keluar rumah, dandan. Waktu untuk diri sendiri saja sekedar luluran, setahun belum tentu ada tiga kali. Itu pun baru sebentar lama sedikit di kamar mandi sudah digedor pintu kamar mandi. Mandi jangan bertapa katanya." Curhat tetanggaku.
Aku tahu suaminya. Yang sejak setahun kemarin kata istrinya semakin rajin fitnes. Semakin memperhatikan penampilan. Dan menurutku semakin genit. Seperti juga suami tetangga yang lain. Mahasiswi praktek yang magang dikantornya menggambarkan bapak itu sebagai laki-laki ramah, rajin menjamah. Colek sana sedikit, colek sini sedikit.
Mereka memang bukan mewakili semua laki-laki. Aku tahu banyak laki-laki yang semakin bertambah usia semakin shalih, semakin dekat kepada agama. Tapi ada juga spesies laki-laki yang semakin tua semakin lupa diri. Semakin tangan dan mulutnya susah dikendalikan. Aku tahu. Karena bukan sekali dua para suami tetangga itu berbicara tak sopan, yang disamarkan, tapi jelas urusan dalam kamar, ditujukan padaku, hanya karena statusku. Sekali dua ku diamkan, tapi kadang kulabrak juga.
Laki-laki seperti ini, sering ingin kubariskan depan istrinya. Duduk berhadapan lalu kutanyakan. Atas dasar apa berani-beraninya membandingkan kami dengan para gadis cantik atau bintang sinetron. Gadis-gadis itu belum mekar badannya kena hukum sebab akibat bernama kehamilan. Sebab hamil, meningkatlah lemak, akibatnya bertambahlah jumlah lekukan tubuh. Dari gitar spanyol saat gadis, lalu berubah jadi akordion ketika sudah punya anak empat. Memangnya kami hamil tanpa keterlibatan suami? sampai tega membandingkan. Ini kan karena suami juga.
Kenapa tega membandingkan. Padahal ketika kami meminta tambahan uang belanja mengeluhnya seperti kami minta naik haji. Artis cantik berbodi dahsyat itu, biaya perawatan tubuhnya sebulan, setara biaya belanja ditambah beli baju baru ditambah kredit motor keluarga kami, selama setahun.
Kupikir-pikir, walaupun kami tidak menuntut, walaupun tidak meminta, walaupun kadang-kadang kepingin juga tapi menyimpan semuanya dalam hati, paling-paling dicurhatkan saat tahajud, itupun kepada Allah. Karena suami belum tentu suka kalau istrinya banyak minta ini itu.
Tapi ingin rasanya aku katakan pada kakak-kakak itu. "Kak, kalau suamimu bandingkan lagi. Kakak ambil artikel tentang perempuan artis itu. Kakak tunjukkan pembantunya dirumah ada berapa, kakak lampirkan berapa biaya aerobic dan suplemen makanan untuk menjaga bentuk badan itu. Kakak bandingkan dengan uang belanja rumah kita-kita ini, sekaligus kakak buatkan jadwal kerja kakak dari pagi sampai sore. Tempelkan di mukanya."
Ah, jadi marah-marah akhirnya. Tapi sulit untuk tidak kesal. Seandainya saja mereka para suami yang membanding-bandingkan itu mau coba mengerjakan tugas kami para ibu rumah tangga. Sehari saja. Aku yakin bicaranya akan berbeda. | I.K
nice post kak
ReplyDelete